Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara
cepat dan menyangkut dasar atau pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi,
perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih
dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan.
Sementara kata “mental” sering diartikan sebagai ganti dari kata
“personality” yang artinya kepribadian. Itu berarti revolusi mental adalah
perubahan yang cepat dan cukup mendasar terhadap sikap kepribadian manusia.
Semenjak disahkannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, semangat untuk memperbaiki mental aparat semakin digencarkan. Seakan-akan
telah terjadi revolusi mental aparat secara konstitusional. Terutama dalam hal
pelayanan publik. Kesan “pejabat minta dilayani” segera dihilangkan dan
diganti dengan “pejabat adalah pelayan”. Spirit “bangunlah jiwanya, bangunlah
badannya” sebaiknya terinternalisasikan dalam diri aparat.
Seorang pejabat, saat ini, tidak boleh hanya menerima laporan dan
duduk-duduk saja di belakang meja. Tetapi sesering mungkin turun melihat
langsung ke lapangan yang menjadi wilayah tugasnya sebelum mengambil keputusan.
Apalagi pejabat yang diberi tanggung jawab yang berhubungan langsung dengan
publik, wajib hukumnya memastikan aparat di bawahnya dalam melayani masyarakat
dengan super ramah, tidak salah dalam melayani dan cepat dalam menyelesaikan
pelayanan. Harus sempurna.
Pendekatan sikap aparat yang berkaitan dengan kepedulian terhadap pelanggan,
upaya melayani dengan tindakan yang terbaik dan adanya tujuan untuk memuaskan
pelanggan dengan berorientasi pada standar layanan tertentu harus diutamakan
dan dinomorsatukan karena bagian dari pelayanan prima (exellent service). Itu,
antara lain semangat diterbitkannya UU ASN di atas.
Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Pemerintah RI Nomor 81 Tahun
1993 tentang Pedoman Tata Laksana Pelaksanaan Umum menyebutkan pelayanan prima
akan tercapai manakala aparat pemerintah memiliki kompetensi yang memadai,
penampilan yang maksimal, cukup perhatian terhadap masalah yang dihadapi,
tindakan yang tepat sesuai prosedur dan bertanggung jawab terhadap apa yang
dilakukannya. Di samping itu, kecepatan pelayanan, keramahan aparat dan
kenyamanan ikut menyumbang dalam menyempurnakan pelayanan prima terhadap
masyarakat.
Menurut saya, ada tiga kunci revolusi mental aparatur pemerintah dalam
pelayanan publik.
Pertama, start from the small thing. Mulai dari hal-hal
yang kecil. Meskipun hal kecil tetapi tidak boleh dianggap kecil. Justru dari
hal kecil inilah, masyarakat sebagai pelanggan dalam pelayanan publik akan
merasa puas dan berkesan ketika berhadapan dengan aparat yang dengan sepenuh
hati melayaninya.
Dengan senyum, sapa dan salam, misalnya. Ketika pelanggan datang dengan
disambut senyum oleh aparat, maka seorang pelanggan akan langsung memiliki
persepsi bahwa aparat ini akan melayaninya dengan penuh suka cita. Tidak
setengah-setengah. Apalagi kalau ditambah dengan sapa dan salam yang penuh
keikhlasan, tentu akan menambah kadar kualitas pelayanan prima.
Tindakan senyum terhadap pelanggan kelihatan hal yang sepele, tetapi ikut
mewarnai suasana batin seorang pelanggan. Seorang aparat bisa menjadikan
tindakan senyum sebagai pintu pertama dalam pelayanan prima. Apalagi tindakan
senyum tidak memerlukan biaya dan sangat mudah untuk dikerjakan. Semua orang
bisa melakukannya. Cukup menarik kedua ujung bibir ke atas dan
mempertahankannya selama tujuh detik, maka akan nampak ketulusan hati seorang
aparat dalam melayani pelanggannya.
Kedua, start from your self. Mulai dari diri sendiri. Kunci
sebuah perubahan itu dimulai dari diri sendiri. Merubah diri sendiri jauh lebih
mudah dari pada merubah orang lain. Siapa lagi kalau bukan diri kita sendiri
yang melakukan perubahan. Seorang aparat hendaknya melakukan perubahan ke arah
yang lebih baik, tanpa menunggu aparat yang lain melakukan perubahan terlebih
dulu. Apalagi kalau seorang aparat yang diberi kewenangan sebagai pemimpin
sebuah lembaga pemerintah. Sebelum melakukan perubahan ke aparat di bawahnya,
maka diri seorang pemimpin harus melakukan perubahan terlebih dahulu.
Pemimpin harus bisa memberi contoh teladan yang baik kepada yang dipimpin. Dengan
memberikan keteladanan yang baik, maka tanpa diperintah pun aparat yang
dipimpin akan meniru keteladanan yang diberikan oleh seorang pemimpin. Seorang
pemimpin harus sesuai antara ucapan dan perbuatan.
Dan ketiga, start from now. Mulai dari sekarang. Sebuah
perubahan tidak perlu menunggu waktu yang tepat kapan dimulainya sebuah
perubahan. Ketika seorang aparat saat itu harus melakukan perubahan, maka saat
itu juga harus melakukan perubahan. Tidak usah menunggu lagi. Tidak perlu
menunggu yang lain berubah, baru melakukan perubahan. Semakin ditunda waktu
perubahan, maka semakin tertunda pula target waktu perubahan yang diinginkan.
Kalau tidak sekarang, kapan lagi!
Selain ketiga kunci di atas, hal-hal lain yang perlu diperhatikan
dalam sebuah revolusi mental adalah sikap, pola pikir dan budaya (kerja) aparat
dari yang bersifat primordial, kesukuan, terkotak-kotak harus dirubah menjadi
suatu sikap yang memegang teguh nilai-nilai komunitarian, persaudaraan dan
kepekaan ekologis.
Di samping itu, jiwa aparat harus bebas dari sifat – sifat keserakahan,
dogma dan pengelompokkan. Sifat-sifat itu semua harus diganti dengan perasaan
dan kepedulian terhadap sesama dan menyukai hubungan dengan yang lain. Mudah
bersahabat tanpa memandang latar belakang dan kepercayaan juga saling terikat
karena terpaut dengan gagasan yang saling memuliakan. Juga tidak kalah
pentingnya menekankan kepada dialog yang jujur, terbuka dan bersahabat.
Akhirnya, pekerjaan merevolusi mental aparat membutuhkan keberanian diri
dari aparat sendiri. Berani untuk merevolusi diri sendiri. Kalau bukan kita
(aparat), siapa lagi!. Kalau bukan sekarang, kapan lagi!.
Oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Utara : Drs.
H. Suleman, M.Pd (Link Sumber)